Isi kompos kami waktu itu campur-campur, menyesuaikan sampah organik yang ada di rumah. Biasanya yang masuk ada:
-
Ranting kecil, kulit buah, sisa sayur mentah, dan sisa makanan yang ayam gak doyan.
-
Dicampur dengan tanah biar nggak terlalu lembek dan bantu proses penguraian,
-
Kotoran ayam jika udah kebanyakan.
-
Kami juga siram sedikit EM4, biar proses kompostingnya lebih cepat karena dibantu mikroorganisme baik.
Prosesnya butuh waktu sekitar 1 sampai 2 bulan, tergantung cuaca dan isi komposnya. Selama itu, kami aduk sesekali supaya udara masuk dan proses penguraian berjalan lancar.
Setelah jadi, hasilnya seperti tanah hutan: warnanya gelap, gembur, baunya khas tanah, bukan lagi bau sampah. Nah, waktu kami pakai untuk nanam di rooftop, baru deh terasa bedanya.
Tanah Kompos vs Tanah Biasa?
Tanah biasa, apalagi yang dari pekarangan biasa, cenderung padat, cepat kering, dan kadang miskin unsur hara. Tapi kalau pakai kompos, tanahnya jadi lebih hidup. Lebih gembur, bisa nahan air lebih lama, dan penuh nutrisi penting seperti nitrogen (buat daun), fosfor (buat akar), dan kalium (buat buah dan bunga). Tanaman yang tumbuh pun terlihat lebih segar dan kuat.Walaupun waktu itu kami belum terlalu paham teori soal kandungan tanah, tapi secara kasat mata, kami bisa lihat bedanya. Tanaman yang tumbuh di tanah kompos jauh lebih cepat subur dan jarang layu.
Jadi dari sisa dapur dan kandang ayam, kami bisa dapet media tanam yang sehat, gratis, dan jauh lebih ramah lingkungan dibanding beli pupuk kimia tiap bulan.
0 komentar